[ hijaubiru ]  petition
Surat Penolakan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara
Monday, 07 February 2005 - by : timpakul

Kepada Yth.
1. Bapak Agusman Efendi, Ketua Komisi VII DPR RI [ 021-5756010 ]
2. Bapak Ginanjar Kartasasmita, Ketua DPD DPR RI [ 021-5745895]
3. Bapak Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan HAM RI [ 021-5253095 ]
4. Bapak Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM RI [ 021-3847461 ]
5. Bapak Rahmat Witoelar, Menteri Negara Lingkungan Hidup RI [ 021-8580101 ]
6. Bapak MS Kaban, Menteri Kehutanan RI [ 021-5700226 ]
7. Bapak Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan RI 021-3500042


Dengan Hormat,

Bersama surat ini, kami ingin menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU PMB) yang baru saja diusulkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kami mengamati proses penyusunan RUU PMB ini dilakukan dengan cara yang tertutup dan tidak transparan, bahkan bisa dibilang tanpa melalui konsultasi publik sedikitpun. Tidak adanya ruang yang sengaja diciptakan agar publik berpartisipasi dalam penyusunannya juga terlihat jelas dari subtansi RUU PMB ini yang mengabaikan keselamatan rakyat dan lingkungan.

Kami menyadari bahwa UU Pertambangan Umum No. 11 tahun 1967 harus segera direvisi karena isinya merugikan rakyat, negara dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan geopolitik dan sosial yang ada. Namun, pemerintah tidak boleh ”potong kompas” menyelesaikan RUU PMB kalau hanya sekedar untuk mengejar target capaian kerja program 100 hari pemerintahan SBY. Jika dipaksakan terjadi, citra pemerintahan SBY-Kalla bukannya semakin membaik dimata publik. sebaliknya, justru bakal memperburuk citra pemerintah karena penyusunan RUU itu lebih banyak mengakomodir kepentingan pelaku bisnis pertambangan.

Dari segi proses, tindakan pemerintah (Dep.ESDM) yang terlalu memaksakan untuk menyelesaikan RUU Pertambangan tanpa melalui konsultasi publik itu telah mengabaikan ketentuan UU No. 10/2004 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, khususnya pasal 5 (g) yang mensyaratkan adanya keterbukaan, dan pasal 53 tentang partisipasi masyarakat (lisan atau tertulis) dalam rangka penetapan maupun pembahasan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Perda.

Sementara itu, jika memperhatikan substansinya, tidak ada perubahan paradigma dan perubahan mendasar jika dibanding RUU sebelumnya (draft versi tahun 2001), semangatnya masih eksploitatif dan sangat sektoral. Beberapa hal yang menjadi perhatian kami diantaranya :

1. Konsideran RUU seharusnya mencantumkan Tap MPR No IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA yang menyebutkan pentingnya melakukan kaji ulang yang komprehensif, harmonisasi peraturan perundang-undangan, penyelesaian konflik serta mandat pemulihan ekosistem. Serta mencantumkan Tap MPR No. VI tahun 2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPR, DPA, BPK, MA yang isinya merekomendasikan dengan tegas bahwa presiden sebaiknya menyiapkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur redistribusi dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta menyelesaikan berbagai konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan agraria yang timbul selama ini sekaligus mengantisipasi konflik pada masa mendatang guna mencapai keadilan dan kepastian hukum sebagaimana telah ditetapkan dalam TAP MPR RI No. IX Tahun 2001.
2. Lebih menyedihkan lagi, RUU yang baru ini makin membuka ruang kriminalisasi terhadap rakyat. Rakyat (pemegang hak atas tanah) diwajibkan mengizinkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melaksanakan Usaha Pertambangan di atas tanah yang bersangkutan (pasal 56). Jika tidak, rakyat yang menolak kehadiran perusahaan tambang harus siap masuk penjara dan denda hingga 1 miliar rupiah (pasal 69 ayat 1 dan 2).
3. Tak satu pun pasal yang mewajibkan perusahaan untuk berkonsultasi atau menyampaikan informasi secara benar kepada rakyat terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan dan dampak-dampak yang bakal terjadi
4. Rendahnya keberpihakan terhadap tambang rakyat, terlihat dari banyaknya jumlah pasal yang mengatur pertambangan skala besar sementara pertambangan rakyat seolah dinegasikan. Bahkan pengaturannya hanya sebatas peijinan, bagaimana dengan kewajiban pembinaan dan perlindungan pada tambang rakyat, yang selama ini selalu dikambing hitamkan sebagai PETI.
5. Tidak mengandung unsur pemulihan hak-hak rakyat. Pemerintah mengingkari dan terkesan cuci tangan dengan fakta selama hampir 4 dekade berlakunya UU No. 11 tahun 1967 telah banyak melahirkan konflik sosial dan pelanggaran HAM. Tercatat hingga tahun 2002, sedikitnya telah terjadi 148 konflik pertambangan. Ironisnya, tak ada satupun pasal yang mengurusi tentang resolusi konflik.
6. Batubara bukanlah rejim mineral tetapi rejim energi. Seharusnya pengaturan penambangan batubara masuk dalam pengaturan rejim energi dalam konteks sumber energi untuk pemenuhan kebutuhan rakyat banyak kedepan saat cadangan minyak bumi habis.
7. Subtansi RUU PMB sangat sektoral dan mengabaikan tumpang tindih fungsi kawasan perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil serta kawasan penyangga kehidupan, yang akan berujung terhadap konflik antar sektoral.

MENGINGAT HAL-HAL DIATAS, KAMI MENDESAK:

1. Pemerintah menghentikan seluruh proses penyusunan RUU PMB dan melakukan konsultasi publik yang mencukupi untuk mendapatkan masukan untuk memperbaiki subtansi RUU PMB.
2. DPR RI menolak membahas dan mengesahkan RUU PMB sebelum pemerintah melakukan konsultasi publik yang mencukupi.

Jakarta, 31 Januari 2005

Hormat Kami,

1. Akhmad Gafuri, LAMAS Kotabaru Kalimantan Selatan
2. Berry Nahdian Forqan, WALHI Kalimantan Selatan, Banjarbaru, Kalsel
3. Nurdiyani Rahmanillah, WALHI KALSEL
4. Eko Luruh Djatmiko, WALHI KALSEL
5. Deddy R, WALHI KALSEL
6. Arbani, INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) Kotabaru
7. Riduan, INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) Kotabaru
8. Mariatul Asiah, Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3) Banjarmasin
9. Gusti Nordin Iman, Komunitas Sumpit
10. LBBT-Pontianak, Institute for Community Legal Resources Empowerment Program in West Kalimantan
11. M. Teguh Surya, Wahi Riau, Pekanbaru - Riau
12 Harley, PASKHAM, Palu, Sulawesi Tengah
13. WALHI SULSEL
14. Suparlan, WALHI DIY
15. Ariadi, KONPHALINDO, Jakarta
16. JATAM KALTIM
17. Fabby Tumiwa, Working Group on Power Sector Restructuring (WGPSR), Jakarta
18. Mahmuddin Muslim
19. Forum Hijau, Koalisi Ornop Kalimantan Tengah, Palangkaraya, Kalimatan Tengah
20. Jassin Hidayat, IBON Web online, Jakarta
21. LABDA Yogyakarta
22. Een Irawan Putra, Perkumpulan mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (LAWALATA IPB)
23. Muh Rasak Salim, Direktur Eksekutif Yayasan SWAMI
24. Rosmalena, Yayasan Sistem Hutan Kerakyatan Kalimantan Timur
25. Yusran N Massa, YAYASAN KONSERVASI LAUT (YKL) INDONESIA, Makassar, Sulawesi Selatan
26. Yohanes RJ, ED WALHI Kalbar
27. Ade Fadli, Komunitas TIMPAKUL.
28. Fazrin Rahmadani, Direktur Eksekutif Institute of Borneo Ecological & Biodiversity Conservation (BEBSiC Institute), Samarinda Kalimantan Timur.
29. Fazrin Rahmadani. Ketua Bidang Organisasi Ikatan Alumni Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda-Kalimantan Timur.
30. Jufriansyah, Yayasan Bina Manusia dan Lingkungan Balikpapan
31. Suprianto, Mahasiswa Fakultas Kehutanan Unmul
32. Itan, Koordinator Mitra LH Kalteng
33. Mujiyanto, Yayasan PERDU Manokwari
34. Gde Wisnaya, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Bali (LP3B)-Buleleng
35. Syafwani, Jari , Borneo Bagian Timur, Kaltim
36. Heru A. Wahyudi, Front Pecinta Alam Kabupaten, Mojokerto

 
online version : http://www.hijaubiru.org/?pilih=lihat&id;=4